Senin, 26 Oktober 2009

Sensasi Mistik di Situ Buleud


Pada 1820 kabupaten karawang dihidupkan kembali dengan wilayah meliputi tanah yang terletak disebelah timur Sungai Citarum/Cibeet sebelah barat Sungai Cipunagara. R.A.A. Surianata yang bergelar Dalem Santri dari bogor, yang memilih ibukota kabupaten di Winayasa adalah bupati pertama dari kabupaten Karawang yang waktu itu kembali dihidupkan.
Kemudian pada 1830, di masa pemerintahan Bupati R.A. Suriawinata atau Dalem Shalawat, ibukota Kabupaten Karawang dipindahkan dari Wanayasa ke Sindang Kasih, dan selanjutnya diganti namanya menjadi Purwakarta, yang secara harfiah memiliki arti “purwa” adalah mulai sedang “karta” adalah aman.
Menurut catatan sejarah dan tutur yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, pada masa itulah pembangunan untuk kelengkapan sarana dan prasarana sebuah kabupaten berjalan terus-menerus dan berkesinambungan. Dan salah satunya adalah dibangunnya Situ Buleud.
Pada Situ Buleud,selain menjadi tempat “pangguyangan” (berkubang) badak yang datang dari daerah Simpeureun dan Cikumpay, Situ Buleud juga menjadi tempat minum bagi berbagai jenis binatang lainnya. Karena khawatir airnya bakal surut, maka pada zaman Belanda, Situ Buleud diperluas dan acap dipergunakan untuk berbagai acara keramaian. Misalnya ulang Tahun Raja Belanda atau keramaian lainnya. Agaknya inilah yang menyebabkan kenapa kala itu di tengah-tengah Situ Buleud didirikan panggung yang lumayan besar serta rerumputan yang tumbuh subur di tepiannya selalu terawat dengan apik dan asri.
“Pada zaman Belanda, rakyat atau inlander tidak boleh menginjak rumput yang ada di sekeliling Situ Buleud,” demikian ujar Pak Ukik,73 tahun, yang kebetulan sedang duduk mencangkung sambil memandangi Situ Buleud.
“Maklum,kala itu Situ Buleud dipakai sebagai tempat bermain atau mencari angin oleh para pembesar Beanda. Makanya, untuk menjaganya dipercayakan kepada seorang “opas” yang bernama Sahro lengkap dengan pentungan karetnya,” dia menambahkan.
“Yang saya herankan, dulu waktu Situ Buleud sering dipakai untuk berenang,tetapi tak pernah ada korban,” cetus Pak Ukik lagi.
Misteri kembali tercenung dan mencoba mencerna keterangan yang baru saja disampaikan oleh Pak Ukik. Misteri mencoba mencari tempat yang lebih tenang di tengah-tengah ingar bingar suara waria yang banyak berkeliaran di sekitar Situ Buleud. Maksudnya tak lain untuk berkontemplasi, agar dapat berhubungan dengan penunggu gaibnya.
Beruntung, Misteri mendapatkan tempat yang tepat. Setelah sejenak mengamalkan berbagai doa penjagaan diri dan membuka tabir alam gaib, tak berapa lama kemudian, di depan Misteri tampak sebuah istana yang teramat megah dengan penjaga sosok manusia berkepala singa, serta seorang lelaki berbadan kekar dan mata memerah saga, berjambang, berjanggut serta berkumis teramat lebat dan terkesan agak awut-awutan. Pria ini mengenakan pakaian ala jawara zaman lampau.
Pada gerbang istana, tampak relief bunga tanjung yang terbuat dari emas nan menyilaukan. Setelah Misteri uluk salam, hampir serempaknya membalas dan saling menyebutkan nama masing-masing. Ternyata, Misteri disambut oleh si Barong dan Mbah Jambrong. Keduanya langsung mempersilahkan Misteri untuk masuk ke pondopo yang teramat luas. Dan setelah sejenak berbasa-basi, dengan tegas Mbah Jambrong mengingatkan,”Anak muda, alam dan darma kita berbeda. Oleh Karena itu janganlah andika mencampuri urusan kami!”
Misteri pun menjawab,”nanda mohon maaf, tak sedikit pun ada niatan di hati untuk mengganggu ketenangan andika kecuali hanya ingin berkenalan semata. Lain tidak.”
“Kami telah menempati tempat ini jauh sebelum bangsa ananda dating ke sini. Dan ini adalah istana Raja dan Ratu kami. Dan yang perlu ananda ingat adalah, korban yang kami ambil adalah yang memang hak kami,” ungkap si Barong yang mampu membaca keinginan Misteri.
“Dan terkadang kami terpaksa maujud hanya untuk mengingatkan kepada mereka agar tidak berlaku sembrono di kawasan istana kami. Padahal dengan yang dulu, kami telah saling berjanji untuk tidak saling mengganggu. Makanya, kami pun tidak pernah meminta lebih.” Ujar Mbah Jambrong menambahkan.
Bak saling berjanji, akhirnya si Barong pun berkata,”bukan maksud kami mengusir ananda, tetapi karena kami berdua harus bertugas melanglang (melakukan perondaan-Red) maka kita sudahi dulu pertemuan ini. Dan lain kali, kami berdua berjanji akan mengajak ananda untuk melihat-lihat dan berkenalan dengan Raja dan Ratu kami.”
Dengan takzim, Misteri mengangguk dan menghaturkan salam. Seiring dengan itu, lenyaplah istana yang megah itu. Situ Buleud sendiri kini terkesan merana. Mata airnya tak ada dan hanya memiliki kedalaman sekitar 3 meter saja. Yang jelas, walau berada di tengah-tengah sarana olahraga, tetapi nuansa mistiknya seolah tak pernah lekang dimakan zaman. Sudah barang tentu, bagi yang mampu merasakannya saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar